Menjelang Pemilu 2009, yayasan penopang kekuasaan SBY bertambah satu: Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian (KdK), yang dipimpin oleh Arwin Rasyid. Empat orang anggota Dewan Pembinanya sudah masuk ke dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II, yakni
Djoko Suyanto, Purnomo Yusgiantoro, Sutanto, dan MS Hidayat (lihat Lampiran 3a: Visi, Misi, dan Struktur Pengurus YKDK). Yayasan ini dikelola oleh orang‐orang yang punya banyak
pengalaman di bidang perbankan. Ketua Umumnya, Arwin Rasyid, Presiden Direktur CIMB Bank Niaga, sedangkan Bendahara Umumnya, Dessy Natalegawa. Dessy adalah adik kandung Menlu Marty Natalegawa yang sudah diproyeksikan akan diangkat menjadi Menlu dalam KIB II
(Gatra, 28 Okt. 2009: 16).
Mereka tidak perlu lagi bingung memikirkan penggalangan dana (fund raising ) bagi yayasan ini, yang telah mendapat kucuran dana sebesar US$ 1 juta dari Djoko Soegiarto Tjandra, pemilik Bank Bali dan buron kelas kakap BLBI (Vivanews, 2 Okt. 2009; Mimbar Politik, 7‐14 Okt. 2009: 10‐11). Yayasan Puri Cikeas, Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, dan Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian punya beberapa ciri yang sama. Ketiga yayasan itu tidak dipimpin oleh SBY sendiri, tapi oleh orang‐orang dari inner circle nya. Pola operasinya sama: memadu kedermawanan dengan mobilisasi dukungan politik dan ekonomi. Sejumlah perusahaan
pendukung ketiga yayasan itu bukannya tidak mengharapkan keuntungan. Padahal, jangkauan kedermawanan ketiga yayasan itu membutuhkan dana yang sangat besar. Lagi pula, hasil auditing ketiga yayasan itu oleh auditor publik yang betul‐betul independen, belum pernah dilaporkan ke parlemen dan ke media massa. Soalnya, ketiga yayasan itu melibatkan sejumlah Menteri dan staf harian Presiden, serta menguasai dana milyaran rupiah. Yayasan Majelis
Dzikir SBY Nurussalam tadinya melibatkan tiga orang Menteri (Hatta Rajasa, Sudi Silalahi, dan M. Maftuh Basyuni, yang tadinya Menteri Agama) sebagai Pembina, serta Brigjen Kurdi Mustofa, Sekretaris Pribadi Presiden SBY, sebagai Pengawas. Kegiatan yayasan ini telah menelan dana yang sebagian mungkin berasal dari anggaran negara. Misalnya, dana untuk kegiatan zikir dan doa di Masjid Baiturrahim di Kompleks Istana Negara di akhir 2007 dan 2008, yang diikuti antara 3000 dan 4000 jemaah, yang selesai berdoa, diundang makan malam di Istana Negara (Kompas, 31 Des. 2007; Tempo, 13 Jan. 2008: 34).
Biaya makan malam ribuan jemaah zikir itu mungkin dapat diambil dari anggaran rutin kepresidenan yang telah disetujui oleh DPR‐RI. Tapi bagaimana dengan biaya ibadah umroh bagi lima rombongan ulama a 50 orang yang disponsori oleh yayasan ini, di mana setiap orang menelan biaya seribu real (Antara News, 16 Sept. 2008; Masayok 2008; website majelis dzikir)?
Boleh jadi, selain dari uang rakyat, melalui anggaran kepresidenan, pembiayaan yayasan ini dibantu oleh kedua orang bendaharanya. Selain Hartanto, ada bendahara lain, yakni Aziz Mochdar, mitra bisnis Bambang Trihatmodjo dan adik Muchsin Mochdar, ipar mantan Presiden B.J. Habibie. Selain itu, Aziz juga mitra Gunawan Yusuf, pemilik Sugar Group Company (SGC) yang sedang berkonflik dengan Anthony Salim tentang kepemilikan sejumlah perkebunan tebu di Lampung (Aditjondro 2003: 94; Tempo, 13 Mei 2008; Mahkamah, 15 April 2009: 28‐29; Gatra, 1 April 2009: 68‐69).
Dibandingkan dengan Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, Yayasan Puri Cikeas melibatkan lebih banyak pejabat, purnawirawan perwira tinggi, dan pengusaha. Ketua Dewan Pembinanya adalah Jero Wacik, Menteri Pariwisata dan Kebudayaan, pemilik tiga perusahaan yang bergerak di bidang hotel, biro perjalanan, bidang interior, dan disain tekstil, yakni PT Griya Batu Bersinar, PT Pesona Boga Suara, dan PT Putri Ayu (Sriwijaya Post, 8 Sept. 2009; Warta Ekonomi, 16‐29 Nov. 2009: 49). Selain Menteri tadi, sejumlah mantan perwira tinggi terlibat di Yayasan Puri Cikeas. Ketua dan anggota Dewan Penasehat yayasan ini adalah mantan KSAD Jenderal (Purn.) Subagyo H.S., Komjen (Pol) Didi Widayadi, dan Mayjen TNI Bambang Sutedjo. Sedangkan Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum Pengurus adalah Marsekal Madya (Purn.) Suratto Siswodihardjo, mantan Ketua INKOPAU, dan mantan Wakil Ketua MPRRI Letjen (Purn.) Agus Widjojo. Subagyo HS dan Agus Widjojo tetangga SBY di kompleks Cikeas Indah itu (Detiknews, 24 Sept. 2004).
Para pebisnis yang namanya tercantum di struktur organisasi yayasan ini adalah Jero Wacik, yang sudah disebut di depan; Sofyan Basir, Dirut Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan mantan Dirut Bank Bukopin; Anton Sukartono, putra Suratto Siswodiharjo yang juga Wakil Bendahara
DPP Partai Demokrat dan CEO PT Bakrie Building Industries, anak perusahaan Bakrie & Brothers; Glen Glenardi, Direktur Utama Bukopin; Sukamdani Sahid Gitosarjono, pemimpin dan pemilik Sahid Group, serta anaknya, Hariadi Budi Sukamdani; Tanri Abeng dan anaknya, Emil
Abeng, Presiden PT Walinusa Energi yang bergerak di bidang pertambangan batubara serta pembangunan pembangkit‐pembangkit tenaga listrik dan pipa‐pipa gas alam (Aditjondro 2003: 24‐5; Tempo, 13 Mei 2008, 2 Febr. 2009; Antara, 12 April 2006; Lampung Post, 1 Juni 2006;
Sriwijaya Post, 8 Sept. 2009; Warta Ekonomi, 16‐29 Nov. 2009: 49; Bank
Bukopin 2002; website Yayasan Puri Cikeas; website Partai Demokrat).
Jangan lupa, Ketua Umum yayasan ini, Suratto Siswodihardjo, juga seorang pebisnis, setelah berkarier di bidang kemiliteran dan politik. Lahir di Solo tahun 1946, lulusan AKABRI Udara di Yogyakarta (1969) dan Sarjana Sosial Universitas Jakarta (1992) menjabat sebagai Kasi Sospol Mabes AU (1990‐1992), anggota DPRD‐DKI dari Fraksi ABRI dan Ketua INKOPAU (1998‐2001). Tahun 1998, Suratto menjadi komisaris PT Sweet Indo Lampung dan PT Indo Lampung Perkasa (1998‐2000) yang waktu itu masih milik Anthony Salim; anggota Dewan Audit Bank Bukopin ( 2006‐2007) dan komisaris Bank Bukopin (2001‐2002); komisaris PT Prosys Engineering International (2005); dan komisaris PT Angkasa Pura II (2006‐ 2007) yang mengelola bandara‐bandara di Jakarta, Medan, Palembang, Banda Aceh, dan Pontianak (Angkasa Pura II 2007: 3, 15; Bank Bukopin 2002, 2006; Mahkamah, 15 April 2009: 28‐29).
Dengan modal yang telah terkumpul dari berbagai usahanya, Suratto membeli tanah seluas 25 hektar di Desa Cikeas, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, waktu masih berharga Rp. 5000 per meter persegi tahun 1995. Tanah itu kemudian dikapling‐kapling, masing‐masing seluas seribu meter persegi, dan tahun berikutnya ditawarkan kepada sejumlah perwira tinggi di jajaran Hankam seharga Rp 35 ribu per meter persegi. Sejumlah jenderal membelinya, termasuk SBY, yang langsung membeli empat kapling, yang sekarang sudah bernilai Rp 1,5 hingga Rp 2 juta per meter persegi. Suratto membangun rumahnya bersamaan dan berseberangan dengan SBY tahun 1997. Jadi boleh dikata, Suratto adalah seorang pengembang yang berhasil, yang berkepentingan untuk mempertahankan SBY menjadi Presiden untuk periode keduanya, supaya harga tanah di kompleks Cikeas Indah semakin mahal (Detiknews, 24 Sept. 2004; Tempo, 21 Juni 2009: 28, 21 Juni 2009: 28; Harian Komentar, 27 Ag. 2007).
Boleh jadi, mereka ikut menyumbang kegiatan Yayasan Puri Cikeas, yang bergerak dalam penyelenggaraan Sekolah Alam Cikeas, penanggulangan bencana alam di DIY dan Jawa Tengah, warung murah, dan berbagai bentuk bantuan sosial, terutama buat penduduk pedesaan sekitar Cikeas. Sedangkan untuk bantuan pengobatan gratis, ada klinik keliling, gagasan Ny. Ani Yudhoyono (Harian Komentar, 27 Ag. 2007; Radar Bogor, 16 Ag. 2009). Sejauh tidak menggunakan uang rakyat, dan murni dibiayai oleh pengusaha swasta, tidak ada masalah. Namun karena Sofyan Basir, Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah Wakil Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas, keuangan yayasan ini perlu diaudit dan dilaporkan ke parlemen, mengingat BRI merupakan BUMN. Secara khusus, para nasabah Bank Bukopin juga berkepentingan mengetahui laporan keuangan yayasan ini, sebab dirut Bank Bukopin, Glen Glenardi, adalah ketua Badan Pengawas yayasan ini. Padahal ketua umum yayasan ini, Suratto Siswodiharjo, pernah menjadi Komisaris (2001‐ 2002), kemudian anggota Tim Audit Bank Bukopin (2006‐2007). Walaupun Bukopin itu sendiri sudah badan usaha swasta, pemegang sahamnya termasuk koperasi‐koperasi pegawai negeri sipil (PNS), polisi, dan tentara. Suratto Siswodiharjo sendiri, masuk ke lingkungan Bukopin, karena ia pernah menjabat sebagai Ketua Induk Koperasi Angkatan Udara (INKOPAU). Dengan demikian dapat dikatakan, Bukopin mengelola sejumlah uang rakyat yang telah dibayarkan sebagai gaji pegawai negeri sipil, polisi, dan tentara.
Djoko Suyanto, Purnomo Yusgiantoro, Sutanto, dan MS Hidayat (lihat Lampiran 3a: Visi, Misi, dan Struktur Pengurus YKDK). Yayasan ini dikelola oleh orang‐orang yang punya banyak
pengalaman di bidang perbankan. Ketua Umumnya, Arwin Rasyid, Presiden Direktur CIMB Bank Niaga, sedangkan Bendahara Umumnya, Dessy Natalegawa. Dessy adalah adik kandung Menlu Marty Natalegawa yang sudah diproyeksikan akan diangkat menjadi Menlu dalam KIB II
(Gatra, 28 Okt. 2009: 16).
Mereka tidak perlu lagi bingung memikirkan penggalangan dana (fund raising ) bagi yayasan ini, yang telah mendapat kucuran dana sebesar US$ 1 juta dari Djoko Soegiarto Tjandra, pemilik Bank Bali dan buron kelas kakap BLBI (Vivanews, 2 Okt. 2009; Mimbar Politik, 7‐14 Okt. 2009: 10‐11). Yayasan Puri Cikeas, Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, dan Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian punya beberapa ciri yang sama. Ketiga yayasan itu tidak dipimpin oleh SBY sendiri, tapi oleh orang‐orang dari inner circle nya. Pola operasinya sama: memadu kedermawanan dengan mobilisasi dukungan politik dan ekonomi. Sejumlah perusahaan
pendukung ketiga yayasan itu bukannya tidak mengharapkan keuntungan. Padahal, jangkauan kedermawanan ketiga yayasan itu membutuhkan dana yang sangat besar. Lagi pula, hasil auditing ketiga yayasan itu oleh auditor publik yang betul‐betul independen, belum pernah dilaporkan ke parlemen dan ke media massa. Soalnya, ketiga yayasan itu melibatkan sejumlah Menteri dan staf harian Presiden, serta menguasai dana milyaran rupiah. Yayasan Majelis
Dzikir SBY Nurussalam tadinya melibatkan tiga orang Menteri (Hatta Rajasa, Sudi Silalahi, dan M. Maftuh Basyuni, yang tadinya Menteri Agama) sebagai Pembina, serta Brigjen Kurdi Mustofa, Sekretaris Pribadi Presiden SBY, sebagai Pengawas. Kegiatan yayasan ini telah menelan dana yang sebagian mungkin berasal dari anggaran negara. Misalnya, dana untuk kegiatan zikir dan doa di Masjid Baiturrahim di Kompleks Istana Negara di akhir 2007 dan 2008, yang diikuti antara 3000 dan 4000 jemaah, yang selesai berdoa, diundang makan malam di Istana Negara (Kompas, 31 Des. 2007; Tempo, 13 Jan. 2008: 34).
Biaya makan malam ribuan jemaah zikir itu mungkin dapat diambil dari anggaran rutin kepresidenan yang telah disetujui oleh DPR‐RI. Tapi bagaimana dengan biaya ibadah umroh bagi lima rombongan ulama a 50 orang yang disponsori oleh yayasan ini, di mana setiap orang menelan biaya seribu real (Antara News, 16 Sept. 2008; Masayok 2008; website majelis dzikir)?
Boleh jadi, selain dari uang rakyat, melalui anggaran kepresidenan, pembiayaan yayasan ini dibantu oleh kedua orang bendaharanya. Selain Hartanto, ada bendahara lain, yakni Aziz Mochdar, mitra bisnis Bambang Trihatmodjo dan adik Muchsin Mochdar, ipar mantan Presiden B.J. Habibie. Selain itu, Aziz juga mitra Gunawan Yusuf, pemilik Sugar Group Company (SGC) yang sedang berkonflik dengan Anthony Salim tentang kepemilikan sejumlah perkebunan tebu di Lampung (Aditjondro 2003: 94; Tempo, 13 Mei 2008; Mahkamah, 15 April 2009: 28‐29; Gatra, 1 April 2009: 68‐69).
Dibandingkan dengan Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, Yayasan Puri Cikeas melibatkan lebih banyak pejabat, purnawirawan perwira tinggi, dan pengusaha. Ketua Dewan Pembinanya adalah Jero Wacik, Menteri Pariwisata dan Kebudayaan, pemilik tiga perusahaan yang bergerak di bidang hotel, biro perjalanan, bidang interior, dan disain tekstil, yakni PT Griya Batu Bersinar, PT Pesona Boga Suara, dan PT Putri Ayu (Sriwijaya Post, 8 Sept. 2009; Warta Ekonomi, 16‐29 Nov. 2009: 49). Selain Menteri tadi, sejumlah mantan perwira tinggi terlibat di Yayasan Puri Cikeas. Ketua dan anggota Dewan Penasehat yayasan ini adalah mantan KSAD Jenderal (Purn.) Subagyo H.S., Komjen (Pol) Didi Widayadi, dan Mayjen TNI Bambang Sutedjo. Sedangkan Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum Pengurus adalah Marsekal Madya (Purn.) Suratto Siswodihardjo, mantan Ketua INKOPAU, dan mantan Wakil Ketua MPRRI Letjen (Purn.) Agus Widjojo. Subagyo HS dan Agus Widjojo tetangga SBY di kompleks Cikeas Indah itu (Detiknews, 24 Sept. 2004).
Para pebisnis yang namanya tercantum di struktur organisasi yayasan ini adalah Jero Wacik, yang sudah disebut di depan; Sofyan Basir, Dirut Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan mantan Dirut Bank Bukopin; Anton Sukartono, putra Suratto Siswodiharjo yang juga Wakil Bendahara
DPP Partai Demokrat dan CEO PT Bakrie Building Industries, anak perusahaan Bakrie & Brothers; Glen Glenardi, Direktur Utama Bukopin; Sukamdani Sahid Gitosarjono, pemimpin dan pemilik Sahid Group, serta anaknya, Hariadi Budi Sukamdani; Tanri Abeng dan anaknya, Emil
Abeng, Presiden PT Walinusa Energi yang bergerak di bidang pertambangan batubara serta pembangunan pembangkit‐pembangkit tenaga listrik dan pipa‐pipa gas alam (Aditjondro 2003: 24‐5; Tempo, 13 Mei 2008, 2 Febr. 2009; Antara, 12 April 2006; Lampung Post, 1 Juni 2006;
Sriwijaya Post, 8 Sept. 2009; Warta Ekonomi, 16‐29 Nov. 2009: 49; Bank
Bukopin 2002; website Yayasan Puri Cikeas; website Partai Demokrat).
Jangan lupa, Ketua Umum yayasan ini, Suratto Siswodihardjo, juga seorang pebisnis, setelah berkarier di bidang kemiliteran dan politik. Lahir di Solo tahun 1946, lulusan AKABRI Udara di Yogyakarta (1969) dan Sarjana Sosial Universitas Jakarta (1992) menjabat sebagai Kasi Sospol Mabes AU (1990‐1992), anggota DPRD‐DKI dari Fraksi ABRI dan Ketua INKOPAU (1998‐2001). Tahun 1998, Suratto menjadi komisaris PT Sweet Indo Lampung dan PT Indo Lampung Perkasa (1998‐2000) yang waktu itu masih milik Anthony Salim; anggota Dewan Audit Bank Bukopin ( 2006‐2007) dan komisaris Bank Bukopin (2001‐2002); komisaris PT Prosys Engineering International (2005); dan komisaris PT Angkasa Pura II (2006‐ 2007) yang mengelola bandara‐bandara di Jakarta, Medan, Palembang, Banda Aceh, dan Pontianak (Angkasa Pura II 2007: 3, 15; Bank Bukopin 2002, 2006; Mahkamah, 15 April 2009: 28‐29).
Dengan modal yang telah terkumpul dari berbagai usahanya, Suratto membeli tanah seluas 25 hektar di Desa Cikeas, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, waktu masih berharga Rp. 5000 per meter persegi tahun 1995. Tanah itu kemudian dikapling‐kapling, masing‐masing seluas seribu meter persegi, dan tahun berikutnya ditawarkan kepada sejumlah perwira tinggi di jajaran Hankam seharga Rp 35 ribu per meter persegi. Sejumlah jenderal membelinya, termasuk SBY, yang langsung membeli empat kapling, yang sekarang sudah bernilai Rp 1,5 hingga Rp 2 juta per meter persegi. Suratto membangun rumahnya bersamaan dan berseberangan dengan SBY tahun 1997. Jadi boleh dikata, Suratto adalah seorang pengembang yang berhasil, yang berkepentingan untuk mempertahankan SBY menjadi Presiden untuk periode keduanya, supaya harga tanah di kompleks Cikeas Indah semakin mahal (Detiknews, 24 Sept. 2004; Tempo, 21 Juni 2009: 28, 21 Juni 2009: 28; Harian Komentar, 27 Ag. 2007).
Boleh jadi, mereka ikut menyumbang kegiatan Yayasan Puri Cikeas, yang bergerak dalam penyelenggaraan Sekolah Alam Cikeas, penanggulangan bencana alam di DIY dan Jawa Tengah, warung murah, dan berbagai bentuk bantuan sosial, terutama buat penduduk pedesaan sekitar Cikeas. Sedangkan untuk bantuan pengobatan gratis, ada klinik keliling, gagasan Ny. Ani Yudhoyono (Harian Komentar, 27 Ag. 2007; Radar Bogor, 16 Ag. 2009). Sejauh tidak menggunakan uang rakyat, dan murni dibiayai oleh pengusaha swasta, tidak ada masalah. Namun karena Sofyan Basir, Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah Wakil Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas, keuangan yayasan ini perlu diaudit dan dilaporkan ke parlemen, mengingat BRI merupakan BUMN. Secara khusus, para nasabah Bank Bukopin juga berkepentingan mengetahui laporan keuangan yayasan ini, sebab dirut Bank Bukopin, Glen Glenardi, adalah ketua Badan Pengawas yayasan ini. Padahal ketua umum yayasan ini, Suratto Siswodiharjo, pernah menjadi Komisaris (2001‐ 2002), kemudian anggota Tim Audit Bank Bukopin (2006‐2007). Walaupun Bukopin itu sendiri sudah badan usaha swasta, pemegang sahamnya termasuk koperasi‐koperasi pegawai negeri sipil (PNS), polisi, dan tentara. Suratto Siswodiharjo sendiri, masuk ke lingkungan Bukopin, karena ia pernah menjabat sebagai Ketua Induk Koperasi Angkatan Udara (INKOPAU). Dengan demikian dapat dikatakan, Bukopin mengelola sejumlah uang rakyat yang telah dibayarkan sebagai gaji pegawai negeri sipil, polisi, dan tentara.
0 comments:
Posting Komentar